Hukum Suami Melihat Kemaluan Isteri atau Sebaliknya

Tags





Yang perlu dicatat, secara umum persoalan-persoalan seputar hak wanita ini memang banyak terabaikan dalam berbagai kajian buku-buku yang ditulis umat Islam selama ini. Tak jarang yang mereka sodorkan adalah hadits-hadits yang lemah (dla’îf),[1] bahkan terkadang kedudukannya maûdlu’[2] ketimbang mendahulukan hadits-hadits yang sahîh.

Syekh Muhammad Al-Ghazali (1917-1996 M./1335-1416 H.) –rahimahullâh—berkomentar:
Saya menilai, pembatasan peran sosial kemasyarakatan kaum perempuan itu selama ini hanya didasarkan pada dua sumber yang berkaitan dengan hal itu dengan mengabaikan yang sahîh dan mendahulukan yang dla’îf…”[3]

Kerap tersebar di seluruh dunia Islam, orang-orang berfatwa mengenai segala persoalan dan kemudian mengambil pendapat yang paling rumit (karena seolah dianggap paling utama, Penj.) yang terkadang justru berdasarkan dalil dan hujjah yang lemah. Alasannya, tindakan mereka itu tiada lain sebagai sikap kehati-hatian (preventifitas/ahwath aw ihtiyâth).
Dalam kaitan ini Dr. Yusuf Qardlawi menegaskan:

Tidak semestinya –hanya semata perbedaan pendapat di antara para ulama, mereka[4]kemudian mengambil pendapat yang paling sulit karena dianggap sebagai tindak kehati-hatian. Menjalankan yang mudah justru dipandang lebih utama karena berdasarkan dalil yang kuat atau setidaknya sesuai dengan ruh syari’at Islam dan juga kebutuhan manusia…”[5]

Adapun dalam masalah seorang suami yang melihat, menyentuh, dan meraba-raba aurat dan kemaluan isterinya ataupun sebaliknya, sang isteri melihat kemaluan suaminya, adalah termasuk di antara hal-hal yang diperbolehkan (mubâh). Sebab, dalam persoalan-persoalan yang tidak terdapat dalil yang sahîh dari Rasulullah Saw., maka persoalan itu hukum asalnya adalah mubâh (boleh). Itulah dasar dalam beribadah sebagaimana yang ditegaskan para ulamaushûl fikih.

Ada juga beberapa buku yang membahas seputar persoalan tersebut dan berpendapat bahwa hal itu hukumnya haram. Hanya sayangnya, dalil yang mereka kemukakan adalah hadits-haditdla’îf dan maudlû’ serta mengenyampingkan beberapa keterangan hadits sahîh yang justru menentangnya.

Adapun dalil orang-orang yang mengatakan bahwa hal tersebut hukumnya haram dan makrûhitu, diantaranya berdasarkan hadits-hadits berikut ini:
  1. Diriwayatkan dari Aisyah, “Aku tidak pernah melihat (kemaluan) Rasulullah, tidak juga Rasul melihat (kemaluan)-ku,” (HR. Ibnu Mâjah). Hadits ini lemah dan gugur.
  2. Dari Nabi Saw. bahwasannya beliau pernah bersabda, “Melihat kemaluan itu menyebabkan haid.
Hadits ini dla’îf, bahkan maudlû’. Ibnu Al-Jawzi mencantumkan hadits tersebut dalam kitabnya, “Al-Maudlû’at”. Hadits ini dianggap lemah juga oleh yang imam-imam yang lainnya.
  1. Sabda Rasulullah Saw., “Apabila salah seorang di antara kalian menyetubuhi isterinya, maka tutuplah semampunya. Tidak boleh keduanya telanjang (baca: tertutupi).
Hadits ini riwayat Ibnu Majah dalam kitab Nikah (Nomor hadits: 1921). Dalam kitab “Al-Zawâ-id”, Imam Al-Bushairi melemahkannya. Imam Al-Hafidz Al-Iraqi juga turut melemahkannya karena dianggap sanad-nya[6] lemah. Dalam kitab “Irwâ-u l-Ghalîl” (No. hadits: 2009), Imam Al-Bani menganggap kedudukan hadits tersebut lemah.[7]
  1. Sabda Rasulullah Saw., “Apabila salah seorang di antara kalian menyetubuhi isterinya, maka janganlah melihat kemaluannya, karena akan menyebabkan buta.
Hadits ini maudlû’ dan gugur. Ibnu Hibban berkata, “Hadits ini tertolak (munkar) yang tidak ada asalnya.
Dengan begitu, gugurlah semua pendapat yang disandarkan pada hadits-hadits di atas. Adapun bagi sebagian para ulama yang menganggap makrûh, Ibnu Hazm (994-1064 M./384-456 H.) membantahnya dengan penjelasan:

Halal bagi seorang suami melihat kemaluan perempuan miliknya, baik isteri maupun hamba sahaya yang halal untuk disetubuhi. Demikian juga (halal) bagi keduanya untuk melihat kemaluan suaminya. Menurut hukum asalnya, perilaku tersebut tidaklah dipandang makrûh. Alasannya tiada lain hadits masyhur yang diriwayatkan oleh Aisyah, Ummu Salamah, dan Maimunah (ummahât-u ‘l-mu’minîn atau ibu-ibu kaum mukmin –semoga Allah meridlai mereka), bahwasannya mereka pernah mandi bareng dengan Rasulullah Saw. dari satu bejana yang sama.[8]

Dalam hadits riwayat Maimunah bahkan dijelaskan, bahwa Nabi Saw. tidak memakai kain sarung. Dalam hadits tersebut, Nabi diceritakan mencelupkan tangannya ke bejana air, kemudian beliau membersihkan kemaluannya dan mencucinya dengan tangan kirinya.

Setelah semuanya jelas, maka gugurlah semua orang yang masih memegang pendapat salah seorang ulama di atas. Adalah ironi jika sebagian orang-orang yang masih tertutup (muttakifîn) yang berpegang teguh pada asas kejahilan, memperbolehkan menyetubuhi kemaluan namun terlarang untuk melihatnya. Cukuplah dalil untuk persoalan ini firman Allah Swt., “…dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela.”[9]

Allah memerintahkan kepada kita agar selalu memelihara kemaluan, selain pada isteri dan hamba sahaya yang dimiliki. Tidak ada pembatasan dalam hal ini, ayat tersebut bersifat umum baik melihat, menyentuh, dan menggaulinya.

Penulis tidak mengetahui hujjah para penentang pendapat ini selain didasarkan pada beberapa atsar[10] yang lemah. Diriwayatkan dari salah seorang isteri Nabi (ummul mukminîn) yang tidak disebutkan orangnya (majhûlah), “Aku tidak pernah melihat kemaluan Rasulullah Saw. sedikitpun.” Atsar ini lebih lemah lagi ketika diriwayatkan juga oleh Abu Bakar bin Iyasy dan Zuhair bin Muhammad, keduanya adalah hamba sahaya Malik bin Abu Sulaiman Al-‘Arzami. Mereka bertiga cukup dikenal sebagai tiga serangkai penghasut (al-âtsâfî) dan pendeta-pendeta yang membelot (al-dayyâr al-balâqi’). Salah seorang di antara mereka saja agaknya cukup untuk melemahkan sanad hadits tersebut.[11]

Bukan Ibnu Hazm saja yang berpendapat demikian. Pendapat ulama jumhûr[12] pun persis sama. Imam Ashnaf dan Hanbali pun cenderung membolehkan seorang suami melihat kemaluan isterinya, demikian pula sebaliknya. Sebagian di antara mereka bahkan ada yang sampai berpendapat:
Melihatnya bahkan lebih utama (dianjurkan) di saat hendak bersetubuh… diperbolehkan menyentuhnya baik dengan syahwat maupun tidak…”[13]

Para pengikut madzhab Imam Malik berpendapat, “makrûh jika melihatnya sampai ke dalam, hanya diperbolehkan melihat luarnya saja.”[14] Sedikitpun tidak terdapat seorang ulama pun yang mengharamkan hal tersebut.

Dalam kitab “Fath-u ‘l-Bârî”, Imam Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani (773-852 H.) memberi komentar atas hadits Abû Dâwûd sebagai berikut:
Jagalah auratmu selain kepada isterimu atau hamba sahaya yang telah menjadi milikmu.” [Adapun makna perkataan Nabi dengan isterimu, tiada lain isyarat bolehnya sang isteri melihat kemaluan suaminya, dan menjadi hukum qiyâs (analogi)[15] jika sang suami juga boleh melihat aurat isterinya].[16]

Diriwayatkan dari Abu Yusuf, aku pernah bertanya kepada Imam Abu Hanifah seputar seorang suami yang menyentuh kemaluan istrinya, sebaliknya ia juga menyentuh kemaluan suaminya guna membangkitkan birahinya, apakah hal itu perbuatan dosa?! Beliau menjawab, “Tidak. Bahkan aku berharap agar dalam hal itu pahalanya berlipatganda.”[17]

Benar bahwa hubungan seksual antara suami-isteri bukanlah sekedar melampiaskan hasrat biologis belaka. Lebih dari itu, justru para pelakunya diberi pahala dan ganjaran manakala berikutnya ia mampu terhindar dari segala perbuatan yang diharamkan serta mampu menjaga kesucian diri dari perzinahan. Sebagaimana dalam hadits yang telah disebutkan terdahulu, “Dalam salah satu anggota tubuh kalian itu ada sedekah…

Hubungan seksual yang dilakukan oleh pasangan suami-isteri merupakan satu-satunya hubungan seksual yang diakui ajaran Islam. Adapun hubungan seksual yang dilakukan di luar jalinan tersebut (baca: pernikahan, Penj.), merupakan hubungan seksual yang jelas diharamkan, apapun itu bentuknya. Hubungan tersebut terjalin tiada lain guna menghindarkan seseorang dari perbuatan yang diharamkan. Setiap perkara yang terjadi di antara pasangan suami-isteri –baik itu bermain dan bersenda gurau—pada dasarnya hukumya boleh kecuali jika benar-benar ada keterangan lain dari Al-Qur’ân dan Sunnah yang sahîh.

Dr. Yusuf Qardlawi suatu saat pernah ditanya seputar seorang suami yang melihat kemaluan isterinya atau sebaliknya. Mempermainkan dan menciumi alat vital sang suami, serta hal-hal lain yang merupakan trik-trik dalam membangkitkan nafsu birahi seseorang sebagaimana yang kerap dilakukan orang-orang. Terutama bagi mereka yang hidup di Amerika yang notabene terimbas budaya kehidupan masyarakat yang serba permissif (baca: serba boleh). Beliau menjawab:

Inilah persoalan yang senantiasa kami hindari. Hati kami cenderung menganggapnya jijik, demikian pula akal pikiran kami memandangnya sebagai nista. Tetapi, ini baru pandangan dari satu sisi. Adapun mengharamkannya–terlebih atas nama agama—itu adalah soal lain. Kita tidak bisa mengatakan sesuatu itu haram kecuali terdapat dalilnya dalam Al-Qur’ân dan As-Sunnah yang sahîh dengan nash yang sarîh (jelas) tentang pengharamanya. Jika tidak ada dalilnya, maka hukum asal suatu perkara adalah mubâh. Dalam hal ini saya tidak mendapatkan satu keterangan sahîh yang mengharamkan cara seperti ini bagi pasangan suami-isteri.”[18]Ì


Artikel Terkait


EmoticonEmoticon